Berapa Banyak Luka yang Kita Sebut Cinta?
Kadang kita nggak sadar kalau yang kita bela mati-matian selama ini… bukan cinta, tapi luka yang sudah kita biasakan. Kita bilang “nggak apa-apa, namanya juga sayang,” padahal hati kita pelan-pelan penuh bekas yang tidak pernah benar-benar sembuh.
Dan di titik tertentu, kita perlu berhenti, bukan untuk menyerah pada cinta, tapi untuk berhenti menyakiti diri sendiri atas namanya.
Luka yang Kita Sebut Cinta
Pernah nggak kamu berhenti sejenak dan bertanya: “Berapa banyak luka yang aku maklumi cuma karena aku sayang?”
Pertanyaan sederhana. Namun jawabannya? Berat.
Banyak orang bertahan bukan karena bahagia, tapi karena sudah terbiasa menyebut luka sebagai bentuk cinta. Seolah rasa sakit itu wajar. Seolah menangis diam-diam itu normal. Padahal… cinta yang benar nggak minta kita hancur dulu baru terlihat tulus.
Saat Luka Jadi Kebiasaan
Yang bikin hubungan menyakitkan terasa masuk akal bukan lukanya, tapi pembenaran yang kita ulang terus. Biasanya dimulai dari kalimat-kalimat seperti:
“Dia cuma lagi capek.”
“Nanti juga dia berubah.”
“Aku harus sabar, ini bagian dari proses.”
Pada akhirnya, yang dipertahankan bukan lagi cinta, tapi rasa takut kehilangan.
Takut sendirian. Takut mulai dari nol. Takut dianggap gagal.
Dan pada akhirnya, luka itu bukan lagi kejadian, tapi kebiasaan.
Alasan yang Kita Pakai untuk Bertahan
Ketika takut lebih besar dari bahagia, hubungan itu sudah bergeser… dari saling mencintai menjadi saling menahan. Setidaknya ada 3 rasa takut yang umum kita pakai sebagai alasan:
- Takut ditinggalkan, nggak ada yang sayang lagi
- Dinilai orang lain bilang “kamu gagal”
- Tidak terima kenyataan: ini bukan cinta yang kita harapkan
Cinta yang Sehat Tidak Menuntut Luka
Cinta yang sehat itu… tenang. Bukan karena nggak pernah ada masalah, tapi karena kamu tahu kamu tetap aman di dalamnya.
- Bisa jadi diri sendiri
- Nggak merasa selalu salah
- Dihargai, bukan dimanfaatkan
- Kamu tumbuh, bukan mengecil demi menjaga hubungan
Jika pada akhirnya sebuah hubungan terus membuatmu merasa kurang, cemas, tertekan, atau kehilangan jati diri, itu bukan cinta. Itu kompromi terhadap kebahagiaan.
📌 Referensi bacaan yang relevan:
- Psychology Today — [Signs You’re in an Emotionally Abusive Relationship]
- Khomeini – [Cinta Sejati Bukan Sekedar Romantisme!]
- Health Direct — [Building and maintaining healthy relationships]
Saatnya Berhenti Memaklumi Sakit yang Sama
Healing itu bukan selalu tentang memperbaiki hubungan. Kadang healing berarti mengembalikan batasan yang dulu pernah kita turunkan demi tetap bertahan. Jujur bahwa kita lelah. Melepaskan sebelum pecah lebih dalam.
Kalau kamu terus diam, terus memaklumi, terus memaafkan luka yang sama dari orang yang sama. siapa yang sedang kamu selamatkan selain orang itu?
Bertahan Bukan Selalu Bukti Cinta
Banyak orang berpikir bahwa bertahan adalah bentuk cinta paling kuat. Faktanya: tidak selalu begitu. Terkadang “bertahan” hanya cara halus untuk menutupi rasa takut ditinggalkan, takut terlihat gagal, atau takut hidup tanpa seseorang yang justru menyakiti kita.
Jadi, coba tanya sekali lagi, pelan, tapi jujur: “Kalau dia benar sayang, kenapa kamu yang harus selalu tersakiti?”
Dan saat hati kamu tiba-tiba terasa sunyi setelah baca ini… itu bukan kebetulan. Itu adalah bagian dari kesadaran dirimu yang muncul.
“udah berapa banyak bekas luka yang kamu maklumi karena bertahan sama orang yang terus menyakiti atas nama cinta?”KHOMEINIMUJ
Lihat kumpulan quote lainnya di Instagram: @khomeinimuj